COMEBACK!!
おはよう、おはよう ...여러분(^^)/
Morning,
Yorukou!
Lama tak
jumpa~
Tak terasa ternyata udah setahun lebih vakum nulis...
Mongi mau cerita-cerita, curhat, nih~
Boleh, ya~ okeoke??
(^^ )v
note :
karena ini berisi ceritaku selama 1 tahun ini jadi kemungkinan (pastinya)
sangat panjang. Aku akan membagi ceritaku dalam 2 part. 1 saat aku masih di bangku
SMA dan 2 saat aku sudah memasuki dunia perkuliahan.
Hmm... bentar, bentar... aku lupa kapan sih terakhir aku posting?? Mid-Autumn Festival... Ah! 23 September 2018.
Sebenarnya, jadwalku tidak terlalu padat saat itu. Ekskul udah gak boleh ikut (anak kelas 12 dilarang ikut ekskul dan berpartisipasi di lomba-lomba). Paling-paling cuma les untuk persiapan Ujian Nasional (UN). Sejujurnya, aku tidak terlalu berminat mengikuti les terutama bimbingan belajar di luar sekolah, tapi ibuku memaksaku untuk mengikuti bimbel sejak awal pertama masuk kelas 12. Kenapa aku tidak mau ikut bimbel di luar sekolah?
Pertama, aku cukup yakin dan mungkin agak sombong bahwa aku mampu lulus UN dengan nilai memuaskan tanpa bimbingan belajar dari luar. Sebelumnya aku tidak pernah mengikuti bimbingan belajar, baik saat menghadapi UN SD maupun SMP. Dan nilaiku... yaa... lumayan lah. Bisa dibilang cukup tinggi dibanding teman-temanku yang lain.
Kedua, biaya bimbingan mahal. Keluargaku tidak termasuk golongan orang mampu, malah bisa dibilang banyak kurangnya. Aku kepikiran berkali-kali, mampukah orangtuaku membayar biaya bimbingan itu? Disaat-saat galau itu, ibuku datang kepadaku dan mengatakan kalau dia sanggup. Yaa... aku menghargai kesanggupannya, jadilah aku mendaftar di salah satu bimbingan belajar dekat sekolahku.
Lembaga bimbel itu sebenarnya termasuk yang memiliki nama di kotaku, tapi entah kenapa di cabang yang aku ikuti yang mendaftar hanya 5 orang. Aku sih okeoke aja. Malah bagus sii, serasa les privat (^^ ). Awal-awal les masih senang-senang aja, tanpa beban. 2 bulan setelah mengikuti les, keluargaku ditimpa bencana.
Tepat tanggal 3 Oktober 2018. Sore hari itu bibiku dan 2 adik sepupuku berkunjung ke rumahku. Suami bibiku belum lama ini meninggal, jadi bibiku lebih sering pulang ke rumah nenekku yang notabenenya menyatu dengan rumahku. Setelah waktu isya' bibiku pamit pulang. Ayahku beniat mengantar bibiku sampai ke rumahnya. Adikku yang masih kecil ingin ikut dengan ayahku mengantar bibi. Karena adikku ikut, ibuku terpaksa ikut juga, takutnya adikku mengantuk di jalan dan tertidur. Tinggallah aku sendirian di rumah. Kebetulan hari itu adalah hari ulang tahun kakak sepupuku dan besoknya, tanggal 4 Oktober adalah ulang tahunnya Jeonghan Seventeen. Karena jarak waktu antara Korea-Indonesia adalah 2 jam, jadi jam 00.00 tanggal 4 di Korea = jam 22.00 tanggal 3 di Indonesia, aku berencana untuk begadang agar bisa mengucapkan ulang tahun tepat waktu. Aku lupa apa yang kulakukan hari itu untuk menghabiskan waktu, kurasa membaca wattpad atau baca manga, lalu aku ketiduran padahal aku berencana membuat status memperingati hari ulang tahun Jeonghan.
Sekitar jam
11 malam aku dibangunkan oleh pamanku. Aku yang masih linglung saat itu tidak
ingat sama sekali dengan rencanaku sebelumnya. Pamanku mengatakan padaku bahwa
ayah, ibu, dan adikku mengalami kecelakaan. Aku masih belum mencerna apa yang
dikatakan pamanku. Setelahnya pamanku berpesan padaku untuk tidak mengatakan
hal itu pada nenekku, jangan sampai membuat nenek khawatir. Saat aku sudah
mulai mengerti apa yang terjadi pada orangtuaku dan adikku aku ingin segera ke
rumah sakit, tapi pada saat itu juga nenekku datang. Aku tidak jadi bertanya
pada paman untuk membawaku ke rumah sakit. Aku frustasi, bingung. Akhirnya aku
melanjutkan tidurku. Ini adalah kebiasaanku dalam memendam emosi dalam diriku.
Entah marah, sedih, khawatir, aku akan melampiaskannya dengan tidur.
Pagi harinya
aku baru bisa pergi ke rumah sakit. Aku sudah menyiapkan mentalku. Harus tegar,
harus tabah, harus kuat. Kamar ayahku dan ibuku di rawat terpisah. 2 ruangan
itu berhadapan, dipisahkan oleh lorong. Aku pertama kali melihat ibuku. Dia
terlihat lemah dan kesakitan. Bahu dan rusuk kanan bagian atasnya retak. Aku
mencoba menahan air mataku agar tidak jatuh. Ibuku berulang kali mengatakan
bahwa dia tidak apa-apa. Aku ingin mengatakan beberapa kata penyemangat tapi
tak ada satupun suara yang keluar dari bibirku. Aku menyerah. Aku berbalik
menuju ruangan ayahku. Saat melihat kaki ayahku yang dibalut perban, air mataku
jatuh begitu saja. Wajah ayahku jauh lebih tegar daripada ibuku, namun hatiku
lebih sakit saat melihat ayahku. Aku menangis lepas di depan ayahku. Ayahku,
seperti biasa, menepuk kepalaku untuk menenangkanku. Aku benar-benar sedih saat
mendengar bahwa kaki kirinya patah dan bahkan beberapa serpihannya remuk dan
menusuk daging.
yaampun aku
nangis tengah malam nulis ini... (T^T )
Kecelakaan
itu murni kecelakaan tunggal. Penyebabnya adalah kurangnya penerangan di jalan
yang kebetulan jalan itu sedang rusak. Ayahku sendiri bukanlah tipe orang yang
suka ngebut, pelan banget malah. Saat memakai motor dengan keluargaku, ayahku
tidak pernah melebihi 40 km/jam. Malam itu karena minim penerangan ayahku
memakai motor lebih lambat, mungkin hanya sekitar 20 km/jam. Saat motor yang
ditumpangi oleh ayah, ibu, dan adikku sampai di sebuah tikungan, ternyata
jalannya berlubang dan cukup dalam. Ayahku mencoba untuk menyeimbangkan
motornya dengan menginjak ke tanah, tapi siapa sangka kaki ayahku tidak
mendapat pijakan karena di samping jalan itu adalah parit. Mereka bertiga jatuh
ke parit itu. Kaki ayahku menabrak stang motor hingga patah, bahu ibuku retak
karena menahan beban menjaga adikku, dan adikku pada akhirnya masuk ke parit.
Untungnya adikku tidak mendapat luka parah. Ia hanya kedinginan karena seluruh
tubuhnya basah setelah masuk ke kali.
Selama
hampir 1 bulan kedua orangtuaku dirawat di rumah sakit. Akupun sering absen
sekolah untuk menjaga kedua orangtuaku di rumah sakit. Aku sangat sedih saat
itu. Harusnya aku fokus ke pelajaran di sekolah karena aku sudah kelas 12,
ternyata aku malah dapat ujian hidup. Karena kedua orangtuaku sakit, cacat,
otomatis mereka tidak bisa bekerja. Aku mulai kepikiran, bagaimana perekonomian
keluarga kami nanti? Bagaimana biaya sekolahku dan adikku? Bagaimana melunasi
biaya bimbelku? Semua pemikiran mengenai kondisi fisik orangtuaku, ekonomi
keluarga, pelajaran sekolah menumpuk jadi satu dan hampir meledakkan kepalaku.
Aku benar-benar bingung harus bagaimana.
Ada beberapa
kejadian yang terkenang dan membuatku tersentuh pada saat terpurukku itu. Salah
seorang temanku, yang sekarang kuanggap sebagai sahabatku datang menjenguk
orangtuaku yang sedang dirawat di rumah sakit. Tidak hanya sekedar berkunjung,
ia juga menemaniku menginap di rumah sakit. Aku merasa senang karena ada
seseorang yang mau menemaniku, berbagi keluh-kesah. Jujur, bukan berarti aku
tidak mengingat jasa kedua orangtuaku, tapi aku benar-benar lelah secara mental
dan fisik saat itu. Setelah hari-hari itu kami menjadi lebih dekat dan akrab.
Setelah
kedua orangtuaku keluar dari rumah sakit mereka harus istirahat total di rumah.
Aku sudah bisa kembali sekolah dan menghadiri bimbel seperti biasa. Namun,
permasalahan ekonomi keluargaku terus menghantuiku. Aku mencoba bertanya pada
teman-temanku apakah mereka tau lowongan pekerjaan part-time. Tapi hasilnya
nihil karena kebanyakan lowongan yang dibutuhkan bertabrakan dengan jam sekolah.
Perlahan aku mulai jarang datang ke tempat bimbel karena aku takut ditagih
untuk membayar biaya bimbel. Aku mulai menyalahkan orangtuaku di dalam
pikiranku karena menyanggupi bahwa tidak akan ada masalah jika kau mengikuti
bimbel. Tapi yang sudah berlalu ya sudah berlalu. Yang bisa kulakukan hanyalah
mencari cara agar masalahku ini bisa segera diatasi.
Beberapa kali aku pergi ke BK untuk
meminta saran atas permasalahanku. Aku mencoba bertanya pada guru BK-ku apakah
beliau tau lowongan pekerjaan part-time yang cocok untukku. Ada satu guru yang
memberiku lowongan pekerjaan. Pekerjaan itu adalah membantu pekerjaan guru itu
yang memiliki usaha rumahan. Awalnya ia bertanya apakah tidak masalah jika aku
bekerja untuknya, kujawab tidak masalah. Ia bertanya lagi, jika ada temanku
yang tahu jika aku bekerja seperti itu apakah aku tidak akan malu, kujawab lagi
aku tidak peduli. Akhirnya guruku itu bersedia menerimaku untuk bekerja.
Beberapa hari setelahnya aku bertanya pada guru itu lagi, tapi dia mengatakan
bahwa ia tidak bisa menerimaku. Ia merasa kasihan padaku jika harus bekerja
seperti itu. Saat mendengar alasannya, aku hampir menangis di ruang BK. Aaku
menahan emosiku dan menerimanya lalu kembali ke kelas. Setelah kembali ke
kelas, air mataku berjatuhan. Kebetulan saat itu kelas sedang kosong karena
semua murid pergi ke mushola untuk pelajaran agama (aku ijin tidak ikut kelas karena
harus ke BK) sehingga aku bisa menangis lepas. Dalam hati aku berkeluh, tidak
masalah jika aku harus mbabu (bekerja menjadi PRT) asalkan aku bisa
menghasilkan uang. Tanpa kusadari ada seorang guru yang masuk ke kelasku dan
dia melihatku menangis. Dia bertanya kenapa aku menangis. Aku tidak mengatakan alasan
yang sesungguhnya, aku hanya bilang bahwa aku hanya terbawa emosi mengingat
kondisi fisik kedua orangtuaku.
Beberapa minggu berlalu,
guru BK yang lain memanggilku. Ia menawarkan sejumlah uang padaku yang berasal
dari kemurahan hati adik kelasku. Adik kelas itu menyumbangkan uangnya untukku
setelah mendengar kesulitan yang aku hadapi. Aku tidak menyangka bahwa guru
BK-ku menceritakan kesulitanku kepada adik kelas. Tapi, setelah kupikir-pikir
itu tidak terlalu kupermasalahkan. Toh, niat mereka hanya ingin membantuku. Aku
tidak bisa langsung menerima penawaran itu, bagaimanapun itu adalah hak orang
lain, aku tidak berani mengambilnya. Setelah pulang ke rumah aku bertanya pada
ibuku mengenai masalah itu. Ibuku sedikit keberatan menerima bantuan itu. Aku
pun juga sepemikiran dengan ibuku. Aku lebih suka mendapatkan uang dari hasil
jerih payahku sendiri, biarpun aku harus bekerja ekstra daripada menerima
sesuatu dari orang lain tanpa memberikan apapun sebagai balasannya. Setelah diskusi
yang cukup panjang, akhirnya aku dan ibuku sepakat untuk menerima bantuan itu
mengingat kondisi ekonomi keluarga kami.
Pagi harinya aku dan
adik kelas itu dipertemukan dengan guru BK-ku sebagai saksinya. Adik kelas itu
memberikan cek kepadaku. Sebelum menerimanya, aku bertanya lagi padanya apakah
dia yakin memberikan uang itu padaku? Dia dengan tersenyum lembut mengatakan “iya”.
Aku bertanya lagi apakah orangtuanya tau dan menyetujui keputusannya? Dia menjawab
lagi “iya”. Dengan hati yang sedikit bersalah aku menerima cek itu. Setelah itu
kami tanda tangan sebagai bukti bahwa penyerahan uang itu tanpa paksaan dari
pihak manapun. Aku hampir menangis memegang cek di tanganku. Ternyata masih ada
orang baik dan peduli di sekitarku...
Kita move-move ke saat
menjelang UN. Aku bukanlah tipe orang yang akan belajar di depan buku siang dan
malam. Aku lebih suka menghabiskan waktuku membaca novel xianxia di wattpad
atau mengasingkan diri di perpustakaan membaca buku tentang sejarah dan
filsafat asia timur. Aku cukup memahami diriku dan bagaimana belajar yang
efektif untukku. Bagiku lebih baik memperhatikan dan fokus saat guru
menerangkan materi meskipun tidak membuka buku daripada membaca buku berulang
kali tapi tidak pernah memperhatikan saat guru menerangkan materi. Dan itu
terbukti. Meskipun aku jarang belajar di rumah, namun nilai latihan UN-ku cukup
memuaskan.
Saat UN dilaksanakan, aku
sama sekali tidak belajar. 1 atau 2 hari sebelum UN aku justru sakit, sehingga
aku hanya tidur seharian, sama sekali tidak menyentuh buku. Aku tidak ingat
soal UN waktu itu sulit atau tidak untukku tapi untunglah aku mampu
menyelesaikan ujiannya tanpa kekurangan waktu. Setelah UN selesai kami anak
kelas 12 benar-benar senggang. Yang udah keterima SNMPTN santai-santai, yang mau
melanjutkan ke PTN mulai mengikuti bimbel untuk SBMPTN. Sebenarnya aku masuk
kuota SNMPTN sebelumnya, itupun aku tidak menyangka akan mendapakannya karena
saat aku kelas 10 prestasiku memang cukup bagus, aku mendapat ranking 2 di
kelasku. Namun, saat kelas 11 nilaiku sangat jelek dan rankingku turun ke
jurang, aku berada di posisi 21 dari 32 anak di kelasku. Kalau dipikir-pikir
kesempatanku untuk masuk kuota SNMPTN sangatlah tipis jika melihat diagram
nilaiku dari semester 1-5 yang terlihat seperti pola detakan jantung. Karena
penerima SNMPTN tidak boleh melepaskan pilihannya jika sudah diterima, maka aku
memilih hanya 1 universitas dan 1 jurusan yang benar-benar aku impikan, Sastra
Jepang UGM. Aku menyadari bahwa pilihanku itu hampir mustahil bisa dicapai dan
benar saja aku gagal.
Kira-kira 1 bulan
setelah UN dilaksanakan, hasilnya keluar. Aku menunggu pengumuman dari pihak
sekolah mengenai hasil UN, namun sehari sebelum hasil itu diumumkan sekolah
nilai UN sudah tersebar ke seluruh siswa. Aku mencari namaku dalam daftar.
Setelah melihatnya aku sungguh tidak percaya dengan hasilnya. Aku meraih
peringkat ke-1 di sekolah, ke-2 se-kabupaten dan peringkat ke-8 se-provinsi (untuk
jurusan IPS)!! Aku langsung histeris!! Ibuku yang terheran-heran melihat
tingkahku bertanya apa yang salah denganku. Lalu aku menunjukkan tabel
peringkat hasil UN itu pada ibuku. Ibuku terlihat sangat senang dan bangga
dengan hasil ujianku.
Saat upacara wisuda dan
pelepasan anak kelas 12, murid yang berprestasi akan dipanggil ke atas dan
menjadi orang pertama yang menerima ijazah. Aku yang menempati posisi pertama
di kelas IPS dipanggil pertama kali ke atas panggung lalu disusul siswa yang
menempati posisi pertama di kelas IPA dan seterusnya. Aku sangat bangga menjadi
orang pertama yang naik ke atas panggung. Bukan hanya itu saja, tapi karena
selain siswa yang berprestasi yang naik wali dari murid berprestasi itu juga
ikut mendampingi ke atas panggung. Saat ibuku naik ke panggung bersama denganku
aku merasa seperti sedang menunjukkan pada dunia bahwa aku, anak bodoh dan
bandel yang berasal dari keluarga yang kekurangan mampu berdiri di tingkat
paling atas dan semua itu berkat bimbingan orangtuaku, yang saat ini berdiri di
sampingku dengan penuh kebahagiaan dan rasa bangga pada anaknya.
lanjut ke part 2~
Komentar
Posting Komentar